Idealis.co.id, Lahat – Desas desus Money Politik yang dilakukan para Caleg perwakilan partai politik mulai menyeruak dan menjadi buah bibir dikalangan masyarakat Kabupaten Lahat. Angkanya pun dipasang tarif berkisar dari mulai 200 ribu rupiah permata pilih hingga mencapai angka 500 ribuan rupiah.
Tak sedikit masyarakat yang mulai kembali termakan politik haram dari para penjanji pemilik bibir manis itu. Iming iming janji manis akan kesejahteraan juga menjadi senjata jitu calon bapak dewan itu, supaya bisa duduk di kursi empuk di tingkatan DPRD Kabupaten Lahat.
Masa tenang yang nyatanya tak membuat tenang para calon anggota dewan tersebut, melihat dari tingginya animo masyarakat atas uang pemberian calon wakil rakyat itu, sebagian kelompok masyarakat juga sudah ada pula yang berpikir cerdas.
“Ya ambil uangnya, jangan coblos orangnya pada tanggal 14 Februari 2024 nanti”, begitu kalimat-kalimat yang keluar dari mulut masyarakat, yang nyatanya selama ini telah tertipu akibat menerima uang yang hanya lembaran ratusan ribu itu kemudian sengsara lima tahun kedepan.
Para pemangku jabatan di Bawaslu bersama tim, pada masa tenang, Bawaslu Kabupaten Lahat lakukan patroli praktik politik uang dan penyisiran Alat Peraga Kampanye (APK) di 24 kecamatan di Kabupaten Lahat. Imbauan yang katanya keras terkait Money Politik ini sudah sering pihaknya sampaikan. Namun sampai hari ini belum ada temuan dan laporan, terkait adanya dugaan politik uang dari peserta pemilu.
Apakah Bawaslu hanya menunggu laporan tersebut, ya kalau sekedar menunggu sudah bisa dipastikan tidak akan ada satu suarapun yang bakal melaporkan hal tersebut. Bawaslu mustinya harus turun langsung ke lapangan menggandeng aparat penegak hukum lainnya di Bumi Seganti Setungguan.
Langkah jitu lainnya dilakukan Bawaslu melalui panitia pengawasan di Kecamatan dan PKD adalah patroli di rumah alias kediaman para Caleg. Selain itu, Bawaslu harus memantau secara jeli dan betul betul bertanggung jawab dalam bekerja yakni memantau setiap pemangku kepentingan di desa untuk tidak terlibat menjadi penyalur dan penyambung terjadinya Money Politik.
Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.
Kembali lagi masyarakat harus memahami, Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Dia merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye.
Akhirnya setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.
Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, mengatakan politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.
Tentu saja, itu bukan hanya dari uangnya pribadi, melainkan donasi dari berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya dia terpilih. Perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi.
Waspada Serangan Fajar
Salah satu jenis vote buying yang banyak terjadi dikenal dengan nama “serangan fajar”. Menggunakan istilah dari sejarah revolusi Indonesia, serangan fajar adalah pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan, atau bahkan beberapa hari sebelumnya.
Dalam buku “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014” disebutkan bahwa pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar. Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop.
Serangan Fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.
Dalam survei tersebut ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya.
Tidak hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, mesti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan.
Puncaknya, kesadaran masyarakatlah yang mampu memutus money politic ini, selain itu peran aktif dan keseriusan para pemangku jabatan di Bawaslu juga menentukan agar Pemilu tahun 2024 ini berjalan Jurdil (Jujur dan adil) hingga akhirnya penulis berharap bila semua telah bisa dicapai niscaya Negara ini bakal dipimpin orang-orang terbaik yang memang mementingkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.