Beras dan Minyak Ramai Dibagikan, Tapi Bukan dari Kemensos. Lalu Kenapa Publik Dibiarkan Bingung?
Idealis.co.id, Lahat — Kekacauan informasi bantuan sosial kembali terjadi. Masyarakat dibiarkan menebak-nebak, sementara lembaga yang seharusnya memberi penjelasan justru diam dan membiarkan asumsi berkembang. Alhasil, apa pun bantuan yang muncul—termasuk beras 20 kilogram dan minyak empat liter—langsung dicap sebagai bantuan Kemensos.
Ironisnya, bantuan itu bukan dari Kemensos. Tidak juga dari Dinsos.
Namun masyarakat tetap diminta “memahami sistem”, sementara informasi resmi seolah sengaja tidak disebarluaskan.
Bantuan Datang, tapi Sumbernya Misterius
Mengapa masyarakat selalu salah kaprah?
Jawabannya sederhana: karena informasi dari pemerintah tidak jelas, tidak masif, dan sering kali terlambat.
Wajar jika masyarakat bingung.
Wajar jika warga membanjiri kantor Dinsos untuk menuntut penjelasan.
Yang tidak wajar adalah ketika kebingungan ini dibiarkan terjadi setiap kali bantuan baru muncul, seolah menjadi siklus tahunan.
Sementara itu, Kemensos Punya Bansos Sendiri — dengan Aturan yang Ketat
Ada PKH, BPNT, dan BLT Kesra. Terdengar teratur dan terstruktur, tapi faktanya:
Masyarakat tidak diberi ruang untuk memahami mekanismenya secara jelas.
Sebagian besar warga bahkan tidak tahu apa itu desil, apa itu DTSEN, atau bagaimana cara memastikan mereka masuk dalam daftar prioritas.
Sementara itu, Kemensos bersandar penuh pada satu data sentral, DTSEN, dan meminta masyarakat mengikuti setiap prosedurnya. Namun pengetahuan tentang prosedur ini tidak pernah diterangkan secara gamblang kepada publik.
DTSEN: Data Sentral yang Tidak Pernah Benar-Benar Dipahami Publik
Kabid Linjamsos Lahat, Dina Ardhy, menjelaskan bahwa semua bansos merujuk pada DTSEN yang diperbarui tiga bulan sekali.
Namun penjelasan jujurnya mencuat fakta lain:
Masyarakat harus proaktif mendatangi operator desa, membawa foto rumah, titik koordinat, hingga data listrik. Semua serba manual.
Di satu sisi pemerintah mengusung jargon “data tunggal nasional”,
di sisi lain masyarakat tetap dipaksa mengurus dokumen satu per satu secara konvensional.
Modernisasi datanya di pusat, repotnya tetap di rakyat.
Dan Inilah Puncak Kekacauan:
Beras dan Minyak yang Ramai Itu… Bukan dari Kemensos.
Dina menegaskan:
“Kemensos maupun Dinsos tidak mengeluarkan bantuan beras 20 kg dan minyak empat liter, dan kami tidak terlibat dalam pengawasannya.”
Pernyataan ini mematahkan asumsi publik sekaligus membuka satu pertanyaan besar:
– Jika bukan dari Kemensos, bukan dari Dinsos, lalu dari siapa?
– Mengapa pemerintah daerah membiarkan masyarakat salah paham selama berminggu-minggu?
– Kenapa tidak ada penjelasan resmi sejak awal?
Publik berhak tahu sumber bantuan apa pun yang dibagikan secara massal.
Masyarakat bukan sekadar objek yang “dibagi-bagikan sembako” tanpa penjelasan.
Lebih Parah Lagi: Ada Bantuan yang Pakai Data Kemensos, tapi Bukan dari Kemensos
Seperti PIP dan PBI JKN-KIS.
Inilah yang membuat masyarakat semakin bingung: datanya dari satu kementerian, bantuannya dari kementerian lain, penyalurannya melalui pihak lain lagi.
Yang terjadi adalah kekacauan nomenklatur, tapi masyarakat diminta untuk bisa membedakan semuanya.
Padahal pihak pemerintah sendirilah yang mencampuradukkan sumber bantuan dan data rujukan.
Kemensos Pun Mengunci Data: Jangan Harap Nama Bisa Diganti Semudah Rapat Desa
“Tidak bisa diganti manual, tidak bisa lewat musyawarah desa.”
Artinya, jika sistem mengeluarkan nama seseorang, keluarga itu harus memulai dari nol.
Sementara itu, bantuan misterius yang datang dari luar Kemensos—yang data dan mekanismenya tidak jelas—bebas beredar tanpa SOP yang transparan.
Lagi-lagi, masyarakat yang menanggung akibatnya.
Penutup: Transparansi Bantuan Itu Hak Publik, Bukan Bonus, Kebingungan publik bukan karena masyarakat tidak mau belajar,
melainkan karena pemerintah tidak membuka informasi dengan terang dan konsisten.
Bantuan datang, tapi sumbernya samar.
Mekanisme ada, tapi tidak dijelaskan.
Data dipakai silang oleh banyak kementerian, tapi tanpa edukasi kepada penerima.
Masyarakat berhak tahu siapa memberi apa, siapa mengawasi, dan siapa bertanggung jawab.
Bukan sekadar menerima bantuan, tapi memahami kebenaran di baliknya.








