Idealis.co.id, Lahat – Pukul 05.00 WIB, Kamis (25/12/2025), perjuangan Faiza Az Zahra (18) berakhir di sebuah rumah sakit di Palembang. Lima hari setelah kecelakaan lalu lintas, namanya resmi menjadi bagian dari duka—dan dari perdebatan panjang tentang pelayanan kegawatdaruratan medis.
Di rumah duka di Desa Payo, Kecamatan Merapi Barat, tangis keluarga bercampur dengan kelelahan batin. Mereka ikhlas, kata mereka. Namun keikhlasan itu menyisakan satu hal yang sulit diabaikan: waktu yang hilang di ruang yang seharusnya menyelamatkan.
Minggu, 21 Desember 2025, sekitar pukul 11.00 WIB, Faiza mengendarai sepeda motor Honda Genio, membonceng Aisyah (18), menuju Pasar Kota Lahat. Di kawasan Kota Raya, motor itu menabrak mobil yang terparkir. Benturan keras membuat Faiza mengalami cedera kepala—kondisi yang dalam dunia medis dikategorikan kegawatdaruratan prioritas tinggi.
Ia dibawa ke RSUD Lahat. Di sinilah cerita berubah menjadi sorotan publik.
Di ruang IGD, keluarga menunggu. Ketika kondisi korban dinilai perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan lebih lengkap, proses rujukan tidak berjalan cepat. Keterlambatan disebut terjadi akibat urusan administratif dan kesiapan ambulans. Ketegangan meningkat, suara meninggi, dan kamera ponsel merekam situasi yang kemudian viral.
Publik marah. Namun lebih penting dari kemarahan itu adalah satu pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya standar rujukan kegawatdaruratan medis bekerja?
Dalam praktik layanan kesehatan, kegawatdaruratan medis—terutama cedera kepala—mengacu pada prinsip “golden hour”, yakni periode emas penanganan awal yang sangat menentukan keselamatan dan prognosis pasien. Pada fase ini, kecepatan tindakan medis menjadi kunci.
Secara umum, standar kegawatdaruratan medis mengatur bahwa:
– Pasien dalam kondisi gawat darurat wajib mendapat tindakan stabilisasi segera, tanpa menunggu kelengkapan administrasi.
– Rujukan harus dilakukan secepat mungkin apabila fasilitas atau tenaga medis di rumah sakit pertama tidak memadai.
-Ambulans rujukan idealnya siap 24 jam, termasuk sopir dan peralatan pendukung.
-Administrasi tidak boleh menghambat tindakan penyelamatan nyawa, dan dapat diselesaikan setelah kondisi pasien stabil.
Prinsip ini dikenal luas dalam sistem pelayanan kesehatan nasional dan menjadi dasar operasional IGD di berbagai rumah sakit.
Namun di ruang IGD RSUD Lahat malam itu, prinsip ideal bertemu dengan realitas di lapangan. Proses rujukan berjalan lambat, keluarga terlibat langsung mengurus dokumen, bahkan mencari sopir ambulans. Waktu terus berjalan—sementara cedera kepala tidak pernah menunggu.
Faiza akhirnya dirujuk ke Palembang dan menjalani perawatan intensif. Harapan masih dipelihara. Hingga Kamis pagi, harapan itu berhenti.
Faiza adalah mahasiswi semester I Universitas Terbuka. Anak ketiga sekaligus bungsu dari pasangan Sumantri dan Yuliana. Ia bukan sekadar pasien, bukan pula sekadar korban viral. Ia adalah seorang anak muda dengan masa depan yang terputus di usia 18 tahun.
“Yang kami pikirkan saat itu hanya bagaimana adik saya cepat dirujuk,” ujar Randi (30), kakak sulung Faiza. Ia datang ke rumah sakit setelah menerima kabar sekitar pukul 14.00 WIB dan ikut membantu proses rujukan. “Kami tidak pernah membayangkan akhirnya seperti ini.”
Keluarga menyatakan ikhlas. Namun keikhlasan itu tidak serta-merta menghapus pertanyaan publik.
Kasus Faiza bukan sekadar tentang satu rumah sakit atau satu malam ricuh di IGD. Ia menjadi cermin tentang kesiapan sistem kegawatdaruratan di daerah, tentang kesenjangan antara standar di atas kertas dan praktik di lapangan.
IGD semestinya menjadi ruang tanpa sekat birokrasi—tempat keputusan medis bergerak lebih cepat dari prosedur. Ketika itu tidak terjadi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya citra institusi, melainkan nyawa manusia.
Kini, rumah Faiza sunyi. Tak ada lagi rencana kuliah, tak ada lagi perjalanan sederhana ke pasar. Yang tersisa hanya duka, rekaman video, dan sebuah refleksi kolektif:
Dalam urusan gawat darurat, siapa yang bertanggung jawab ketika waktu terbuang?
Pertanyaan itu tak lagi milik satu keluarga. Ia menjadi milik sistem—dan menuntut jawaban, bukan sekadar klarifikasi.









