Dini hari itu, bengkel kecil di Kabupaten Karimun menjadi saksi titik balik hidup Reci Sabrianto. Pria 31 tahun itu tak sedang bersembunyi, tak pula berlari. Ia hanya seorang pekerja serabutan yang belakangan kehilangan arah, hingga akhirnya polisi menemukan 0,35 gram sabu di tangannya.
Bagi Reci, malam 16 September 2025 bukan sekadar soal penangkapan. Itu adalah akhir dari rangkaian tekanan hidup—pekerjaan yang hilang, tanggung jawab keluarga, dan keputusan keliru yang ia akui sendiri: menggunakan narkotika untuk bertahan dari beban psikologis.
*Namun kisah Reci tidak berakhir di balik jeruji besi*
Ketika Hukum Tidak Hanya Menghukum
Tiga bulan setelah penangkapan, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau mengumumkan keputusan yang jarang terdengar bagi banyak tersangka narkotika: penuntutan dihentikan. Kasus Reci diselesaikan melalui Keadilan Restoratif, dengan rehabilitasi sebagai jalan pemulihan.
Kepala Kejati Kepri, J. Devy Sudarso, menyebut keputusan ini sebagai wujud penegakan hukum yang tidak semata berorientasi pada hukuman, tetapi juga kemanusiaan.
Reci dinilai sebagai pengguna akhir, bukan pengedar. Tidak ada catatan kriminal. Ia berasal dari keluarga sederhana dan menjadi tulang punggung rumah tangga. Tim Asesmen Terpadu menyimpulkan, pemidanaan justru berpotensi memperburuk kondisinya.
Rekomendasinya tegas: rehabilitasi rawat inap selama 12 bulan di Loka Rehabilitasi BNN Batam.
Sabu, Utang, dan Pilihan yang Salah
Dalam pengakuannya, Reci tidak membeli sabu dengan uang. Barang haram itu ia terima sebagai pengganti utang Rp300.000. Sebuah transaksi kecil, namun cukup untuk menyeretnya ke proses hukum.
Di titik ini, kisah Reci mencerminkan potret klasik penyalahgunaan narkotika di lapisan bawah masyarakat: bukan pesta, bukan bisnis gelap besar, melainkan keputusan sesaat dalam tekanan hidup.
Namun di balik itu, muncul pertanyaan yang lebih besar: dari mana barang itu berasal? Siapa yang memberi? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak selalu menemukan jawaban jelas, terutama ketika proses hukum berhenti pada pengguna.
*Rehabilitasi dan Sanksi Sosial*
Selain rehabilitasi, Reci juga dijatuhi sanksi sosial. Selama satu bulan, ia akan membersihkan lingkungan dan menjadi marbot di Masjid Agung Karimun.
Bagi aparat, sanksi ini bukan hukuman simbolik. Ia dimaksudkan untuk mengembalikan relasi sosial, menanamkan disiplin, dan memberi ruang refleksi. Bagi Reci, tugas itu menjadi kesempatan kedua—untuk memperbaiki diri tanpa stigma penjara.
*Keadilan Restoratif di Mata Publik*
Kebijakan Keadilan Restoratif dalam kasus narkotika memang terus berkembang. Di satu sisi, ia dipuji sebagai pendekatan yang lebih manusiawi dan rasional. Di sisi lain, publik masih menyimpan kegelisahan soal konsistensi dan transparansi.
Dokumen asesmen yang menjadi dasar utama keputusan ini tidak dibuka ke publik. Aparat beralasan, asesmen menyangkut data pribadi. Namun bagi sebagian kalangan, keterbukaan kerangka penilaian tetap penting agar keadilan tidak tampak eksklusif.
Antara Harapan dan Pengawasan
Kasus Reci Sabrianto menunjukkan bahwa hukum bisa memberi ruang kedua—asal disertai tanggung jawab. Rehabilitasi bukan penghapusan kesalahan, melainkan pengakuan bahwa pemulihan bisa lebih bermakna daripada pemenjaraan.
Namun keadilan restoratif juga menuntut pengawasan. Rehabilitasi harus dijalankan, sanksi sosial harus diawasi, dan kebijakan harus diterapkan setara—tanpa pandang status.
Di sanalah ujian sesungguhnya.
Bagi Reci, jalan itu baru dimulai. Bagi negara, ini adalah pengingat bahwa melawan narkotika tidak selalu berarti mengurung, tetapi memulihkan manusia yang tersesat agar tidak jatuh untuk kedua kalinya.
Sumber Berita : Bidang Pidum Kejati Kepri









